Syair Lampung Karam
(Orang banyak nyatalah tentu,
Bilangan lebih daripada seribu,
Mati sekalian orangnya itu,
Ditimpa lumpur, api dan abu.
Pulau Sebuku dikata orang,
Ada seribu lebih dan kurang,
Orangnya habis nyatalah terang,
Tiadalah hidup barang seorang.
Rupanya mayat tidak dikatakan,
Hamba melihat rasanya pingsan,
Apalah lagi yang punya badan,
Harapkan rahmat Allah balaskan.)
Selama sekitar setahun merantau hidup di tanah Aceh, aku telah banyak mendengar cerita dahsyatnya bencana tsunami (26/12/04). Setelah terjadi gempa dahsyat, tiba-tiba air laut meluap masuk ke kota setinggi pohon kelapa menghantam semua yang dilewatinya. Tepatnya gempa terjadi pada waktu 7:58:53 WIB. Pusat gempa terletak pada bujur 3.316° N 95.854° E Koordinat: 3.316° N 95.854° E kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer. Gempa ini berkekuatan 9,3 menurut skala Richter dan dengan ini merupakan gempa bumi terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini yang menghantam Asia Tenggara. Menewaskan lebih dari 150.000 jiwa di 14 negara termasuk Indonesia. (id.wikipedia.org)
Ternyata kedahsyatan tsunami di Aceh bukanlah yang pertama kali di Indonesia. Tanggal 20 mei 1883, gunung Krakatau batuk-batuk, kemudian akhirnya meletus tanggal 26, 27 dan 28 Agustus 1883. Letusan dahsyat krakatau menimbulkan awan panas setinggi 70 kilometer dan tsunami setinggi 40 meter, menewaskan sekitar 36.000 orang. Desa-desa hancur dilanda tsunami, lumpur, serta hujan batu dan abu. Keadaan ini digambarkan oleh seorang pribumi bernama Muhammad Saleh yang menggambarkan letusan Krakatau ditulis dalam "Syair Lampung Karam". Syair ini panjangnya 38 halaman dan terdiri dari 374 bait. Diterbitkan tanggal 10 Safar 1306 Hijriah (16 Oktober 1888) di Kampung Bangkahulu (sekarang Bancoolen Street) Singapura. Ditulis dalam bahasa Melayu dan memakai aksara Arab-Melayu(Jawi). Inilah gambar halaman penutup Syair Lampung Karam diambil dari koran Kompas (12/9/08).

Syair Lampung Karam adalah edisi keempat. Edisi pertama suber tertulis pribumi terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu (litography) pada tahun 1883/1884, berjudul "Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu". Berisi 42 halaman. Edisi kedua muncul tidak lama kemudian. Terbit tanggal 2 Safar 1302 H (21 November 1884) di Singapura berjudul "Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut" (42 halaman). Edisi ketiga berjudul "Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut" (49 halaman) . Diterbitkan oleh Haji Said pada tanggal 27 Rabiul Awal 1301 H (3 Januari 1886) di Singapura juga.(Dirangkum dari koran Kompas edisi 12/9/08)
Bencana Alam terus terjadi silih berganti. Datang tak diundang, pergi tak diantar (kaya jelangkung yah....). Datang tiba-tiba, tidak ada satu manusiapun yang sanggup meramalkan apalagi menghindarinya. Tempat kejadian, waktu, kapasitas, intensitas dan siapa korban taget sasarannya tidak dapat diprediksi. Harta benda, kekayaan, kemewahan yang kita kumpulkan dengan mengorbankan sebagian besar waktu hidup kita di dunia yang seharusnya kita gunakan untuk beribadah kepadaNya, tidak dapat membantu menyelamatkan kita dari bencana alam. Jika kita selamat dari bencana-bencana yang telah lalu, bukan tidak mungkin kita adalah korban bencana berikutnya. Apakah kita sudah siap???
(Orang banyak nyatalah tentu,
Bilangan lebih daripada seribu,
Mati sekalian orangnya itu,
Ditimpa lumpur, api dan abu.
Pulau Sebuku dikata orang,
Ada seribu lebih dan kurang,
Orangnya habis nyatalah terang,
Tiadalah hidup barang seorang.
Rupanya mayat tidak dikatakan,
Hamba melihat rasanya pingsan,
Apalah lagi yang punya badan,
Harapkan rahmat Allah balaskan.)
Selama sekitar setahun merantau hidup di tanah Aceh, aku telah banyak mendengar cerita dahsyatnya bencana tsunami (26/12/04). Setelah terjadi gempa dahsyat, tiba-tiba air laut meluap masuk ke kota setinggi pohon kelapa menghantam semua yang dilewatinya. Tepatnya gempa terjadi pada waktu 7:58:53 WIB. Pusat gempa terletak pada bujur 3.316° N 95.854° E Koordinat: 3.316° N 95.854° E kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer. Gempa ini berkekuatan 9,3 menurut skala Richter dan dengan ini merupakan gempa bumi terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini yang menghantam Asia Tenggara. Menewaskan lebih dari 150.000 jiwa di 14 negara termasuk Indonesia. (id.wikipedia.org)
Ternyata kedahsyatan tsunami di Aceh bukanlah yang pertama kali di Indonesia. Tanggal 20 mei 1883, gunung Krakatau batuk-batuk, kemudian akhirnya meletus tanggal 26, 27 dan 28 Agustus 1883. Letusan dahsyat krakatau menimbulkan awan panas setinggi 70 kilometer dan tsunami setinggi 40 meter, menewaskan sekitar 36.000 orang. Desa-desa hancur dilanda tsunami, lumpur, serta hujan batu dan abu. Keadaan ini digambarkan oleh seorang pribumi bernama Muhammad Saleh yang menggambarkan letusan Krakatau ditulis dalam "Syair Lampung Karam". Syair ini panjangnya 38 halaman dan terdiri dari 374 bait. Diterbitkan tanggal 10 Safar 1306 Hijriah (16 Oktober 1888) di Kampung Bangkahulu (sekarang Bancoolen Street) Singapura. Ditulis dalam bahasa Melayu dan memakai aksara Arab-Melayu(Jawi). Inilah gambar halaman penutup Syair Lampung Karam diambil dari koran Kompas (12/9/08).

Syair Lampung Karam adalah edisi keempat. Edisi pertama suber tertulis pribumi terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu (litography) pada tahun 1883/1884, berjudul "Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu". Berisi 42 halaman. Edisi kedua muncul tidak lama kemudian. Terbit tanggal 2 Safar 1302 H (21 November 1884) di Singapura berjudul "Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut" (42 halaman). Edisi ketiga berjudul "Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut" (49 halaman) . Diterbitkan oleh Haji Said pada tanggal 27 Rabiul Awal 1301 H (3 Januari 1886) di Singapura juga.(Dirangkum dari koran Kompas edisi 12/9/08)
Bencana Alam terus terjadi silih berganti. Datang tak diundang, pergi tak diantar (kaya jelangkung yah....). Datang tiba-tiba, tidak ada satu manusiapun yang sanggup meramalkan apalagi menghindarinya. Tempat kejadian, waktu, kapasitas, intensitas dan siapa korban taget sasarannya tidak dapat diprediksi. Harta benda, kekayaan, kemewahan yang kita kumpulkan dengan mengorbankan sebagian besar waktu hidup kita di dunia yang seharusnya kita gunakan untuk beribadah kepadaNya, tidak dapat membantu menyelamatkan kita dari bencana alam. Jika kita selamat dari bencana-bencana yang telah lalu, bukan tidak mungkin kita adalah korban bencana berikutnya. Apakah kita sudah siap???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulislah komentar dibawah ini dan jangan lupa masukkan profil kamu atau pilih nama di bawah kotak tempat nulis komentar